Minggu, 12 Mei 2013

[Note] Detik-detik Elang Mulyana Lesmana sebelum tertembak (Tragedi Trisakti)



Elang Mulya Lesmana, satu dari empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak peluru aparat keamanan saat menggelar aksi unjuk rasa menuntut Soeharto mundur dari jabatan presiden pada Mei 1998.
  
Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Trisakti itu memang telah lama berlalu, namun bagi seorang sahabat yang pernah mengenal Elang, tragedi itu terus melekat sampai kapan pun.
 
Arfianda Bachtiar, pria lulusan Fakultas Teknik Industri Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti, angkatan 1996, merupakan sahabat karib Elang. Arfianda atau lebih dikenal di lingkungan kampus dengan nama Frankie itu, begitu mengenal sosok Elang. Ia pun sempat tertembak saat tragedi berdarah tersebut. Namun, nasibnya lebih beruntung daripada sahabatnya itu. Ia hanya tertebak peluru karet di bagian perut, dan peluru meleset mengenai kancing celana jeans sehingga tidak sampai tembus ke perutnya.
 
Sesal, itu yang ada saat ini, jika mengetahui tanggal 12 Mei 1998, ia harus kehilangan sahabat, ia akan memutuskan tidak ikut berdemo. Namun, kembali ia teringat itulah takdir. Frankie tak pernah menyangka bahwa aparat keamanan akan menembaki para mahasiswa yang tengah berunjuk rasa.
 
"Kami mahasiswa, bukan maling atau preman, dan bukan dibayar untuk berdemo, melainkan dari hati nurani yang menginginkan perubahan yang akhirnya mati ditembak peluru yang dibeli oleh uang rakyat Indonesia," kata Frankie saat berbincang dengan Okezone, Minggu (12/5/2013) malam.
 
Frankie masih ingat jelas terakhir menghabiskan waktu bersama sahabatnya itu. Sehari sebelum tragedi atau tepatnya pada 11 Mei 1998, ia dan Elang berniat mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpulkan esok hari. Dirinya memang kerap menginap di rumah Elang untuk belajar bersama, terlebih minggu itu akan diadakan mid-test atau ujian tengah semester.
 
Di tengah hujan deras, keduanya berboncengan menuju rumah Elang di kawasan Ciputat, Tangerang. Malam itu, Elang menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya, sosok ceria dan pandai menghilang. Elang lebih banyak melamun, hingga Frankie harus menegur berkali-kali saat Elang mengacuhkan pertanyaan Frankie.
 
Keesokan harinya, sekira pukul 09.00 WIB, keduanya berangkat ke kampus. Sebelum pergi, ibunda Elang sempat berpesan pada Frankie agar berhati-hati mengendarai motor. Mendengar pesan Tante Teti -sapaan Frankie kepada ibunda Elang- yang begitu mengkhawatirkan keduanya, Elang membalasnya dengan candaan.
 
"Mami jangan ngomong gitu dong ke Frankie, Elang kan jadi malu," canda Elang kala itu.
 
Hari itu, mid-test dibatalkan karena mahasiswa diharapkan berpartisipasi dalam demonstrasi di kampus. Keduanya memang telah berniat untuk ikut serta dalam aksi tersebut. Frankie langsung mengeluarkan jaket almamater yang telah disiapkan, begitu juga seharusnya Elang, tapi ternyata Elang lupa untuk membawa jaket almamaternya, di situlah Frankie melihat bahwa Elang seperti orang yang banyak pikiran yang mengakibatkan lupa terhadap sesuatu hal yang lain.
 
Sebelum ikut berorasi, Frankie mengajak Elang melihat proyek kos-kosan milik orang tuanya yang tengah dibangun persis di seberang gedung kampus. Setelah berjalan kaki lima menit keduanya sampai di lokasi proyek, lalu menghabiskan waktu di sana sekitar sejam.
 
Menjelang siang, keduanya kembali ke kampus, ketika akan meninggalkan lokasi proyek tiba-tiba salah satu tukang bangunan memanggil Frankie dan memberikan pensil gambar kesayangan Elang yang terjatuh. "Pensil itu yang jadi benda kenang-kenangan bagi saya," ujarnya.
 
Kejadian aneh pun kembali dirasakan Frankie, saat keduanya melewati halte bis di tikungan Jalan Letjen S Parman, tiba-tiba ada seorang perempuan yang menangis ketika Elang melintasinya.
 
"Saya melihat perempuan itu dengan keheranan, saya rasa Elang pun juga tahu, tapi kita tidak bisa mencerna hal itu, dan menganggap kalau perempuan ini mungkin hanyalah seorang yang terganggu jiwanya," kenang Frankie.
 
Namun, ketika orasi tengah berlangsung di tengah-tengah parkiran kampus, Frankie kembali menemukan sosok perempuan “gila” di antara rapatnya peserta demo di sana. Perempuan itu kembali menangis saat berada di dekat Elang.
 
Hari semakin sore, perlahan seluruh mahasiswa bergerak ke luar kampus untuk menuju ke gedung DPR. Namun, aksi para mahasiswa dihadang aparat keamanan. Negoisasi antara mahasiswa dan aparat pun berlangsung alot.
 
Selama kurang lebih tiga jam para demonstran menghabiskan waktu di jalanan, beberapa mahasiswa menyempatkan mengabadikan momen tersebut dengan berfoto bersama. Frankie memutuskan untuk meminta bantuan seorang temannya yang saat itu membawa kamera untuk mengambil gambar dirinya bersama Elang dan satu sahabatnya lagi, Adny.
 
Suasana kian memanas, aparat memaksa para demonstran untuk kembali masuk ke kampus. Melihat kondisi yang mulai tak terkendali, Frankie berpesan pada dua sahabatnya yakni Elang dan Adny, jika terpisah ketiganya berjanji akan berkumpul di pos satpam di depan pintu masuk kampus.
 
Peluru Itu Menebus Jantung Elang
 
Aparat mulai menyerang para demonstran dengan gas air mata dan peluru karet serta tembakan peringatan ke atas. Mendengar suara tembakan tersebut, ribuan mahasiswa serentak berlari dan berebut untuk masuk kampus melalui gerbang di Jalan S Parman.
 
"Karena saya dan Elang posisinya di depan polisi, saya melihat tidak ada peluang untuk masuk kampus, karena posisi saya paling belakang, sedangkan polisi semakin dekat jaraknya dengan saya, sehingga saya memutuskan untuk segera memanjat pagar kampus Untar yang pada saat itu terkunci," ungkapnya.
 
Ketika dalam posisi memanjat, Frankie merasakan panas pada bagian perut, ternyata ia terkena puluru karet yang meleset dan mengenai kancing celananya. Frankie mencoba kembali ke kampusnya dengan memanjat tembok pembatas kedua kampus (Untar dan Trisakti) yang bersebelahan itu. Ia mencoba mencari keberadaan kedua sahabatnya. Seperti yang dijanjikan ketiganya akan berkumpul di pos satpam. Bergegas ia menuju tempat tersebut. Namun ia hanya mendapati dirinya sendiri, tak ada Elang maupun Adny.
 
Tak lama, Frankie mendengar kabar Elang terkena tembak, firasat buruk langsung memenuhi pikirannya. "Saya bertanya kepada teman saya, di bagian mana Elang tertembak, lalu teman saya menunjuk ke arah jantungnya," ucapnya.
 
Dengan emosi Frankie menuju ke Rumah Sakit Sumber Waras, di mana semua korban dilarikan ke RS tersebut. Di sana ia menemukan sosok sahabatnya telah terbaring di kamar jenazah. Dengan terbalut kain tubuhnya telah kaku dan dingin.
 
Disibaknya kain penutup yang menyelubungi tubuh Elang. Dikecupnya kening sahabatnya itu dengan perasaan hancur. Luka peluru Elang menembus jantung hingga punggung. Peluru tajamnya ditemukan di dalam tas punggung yang dia bawa. Di dalam tas itu ada botol parfum yang juga pecah terkena peluru. Parfum itu sebenarnya kado ulang tahun untuk teman wanitanya yang belum sempat ia berikan.
 
Tiga hari setelah Elang meninggal dunia, Frankie bermimpi bertemu Elang di kampus. Di dalam mimpi ia bertanya sambil bercanda pada sahabatnya, apakah Elang telah bertemu malaikat. Elang menjawab telah bertemu sang malaikat. "Lalu saya tanya lagi 'terus malaikatnya bilang apa?' dia jawab bilang Assalamualaikum," kenang Frankie.
 
Ia pun teringat penggalan Alquran Surah An Nahl yang berbunyi, "Yaitu Orang-orang yang berhati Ikhlas, ketika nyawa mereka dicabut oleh malaikat, malaikat berkata, Assalamualaikum (selamat sejahtera atas kalian) dan masuklah kalian ke dalam surga karena amal saleh yang telah kalian lakukan" (QS An Nahl-32).
 
Selama 15 tahun telah berlalu, telah banyak perubahan yang terjadi, begitu juga dengan diri Frankie. Telah 12 tahun lamanya ia tinggal di Jerman. Ia sibuk membuka perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor dengan harapan bisa memasarkan produk-produk Indonesia dan membantu orang Indonesia dalam pemasaran barang produk indonesia di Jerman serta ingin memajukan perekonomian Indonesia yang ujungnya untuk Rakyat Indonesia.
 
Elang bukanlah seorang atlet, apalagi seorang professor, bukan politikus atau aktivis negara, dia hanya seorang pemuda rakyat Indonesia yang hanya berumur sampai 19 tahun, yang telah ditembak oleh peluru yang dibeli dengan uang rakyat Indonesia, ketika meneriakkan perubahan untuk perbaikan negara republik tercinta dengan tidak mengharapkan imbalan kepada siapa pun atas pengorbanan miliknya yang paling berharga yaitu nyawanya.
 
Elang tidak mengharapkan dijadikan pahlawan dan tidak meminta untuk dikenang, tetapi kita bukankah bangsa yang benar apabila tidak bisa menghormati jasa orang-orang yang gugur di dalam perjuangan untuk kepentingan bangsa dan rakyat banyak.
 
"Selamat Jalan sahabatku Elang Mulia Lesmana... Engkau telah mengorbankan jiwa dan ragamu untuk kepentingan rakyat, engkau telah mengajarkanku arti mencintai rakyat, kita tidak sempat bertemu di Pos Satpam yang membisu," lirih Frankie di akhir pembicaraan.

Source: Okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar